Etika Perdamaian Islam dalam Wacana Global

Oleh: A. Tajuddin Arafat

Etika Perdamaian Islam dalam Wacana Global

 I.     Pendahuluan

Sudah menjadi watak atau bahkan fitrah dari setiap manusia untuk mencita-citakan sebuah kehidupan yang aman, tentram, harmoni, dan damai. Rasa damai dan aman merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Dengan kedamaian, diharapkan akan tercipta dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama, tanpa ada rasa takut dan tekanan-tekanan dari pihak lain.[1] Lebih lanjut, Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian selalu menjadi kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang apabila perdamaian itu terwujud maka ia hidup dan apabila perdamaian itu absen maka ia mati.[2] Oleh  karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan (khalifah fi al-ardl) untuk memakmurkan dunia ini.

Banyak kalangan memahami perdamaian sebagai keadaan tanpa perang, kekerasan atau konflik. Pemahaman seperti ini merupakan contoh dari definisi perdamaian negatif. Menurut Johan Galtung, perdamaian negatif (negative peace) didefinisikan sebagai situasi absennya berbagai bentuk kekerasan lainnya. Definisi ini memang sederhana dan mudah difahami, namun melihat realitas yang ada, banyak masyarakat tetap mengalami penderitaan akibat kekerasan yang tidak nampak dan ketidakadilan.[3] Melihat kenyataan ini, maka terjadilah perluasan definisi perdamaian dan muncullah definisi perdamaian positif (positive peace). Definisi perdamaian positif adalah absennya kekerasan struktural atau terciptanya keadilan sosial serta terbentuknya suasana yang harmoni.[4]

Hal itu senada dengan adagium dari Robert B. Baowollo, “si vis pacem, para humaniorem solitudinem (jika engkau menghendaki perdamaian, siapkanlah suasana damai sejati dengan cara-cara yang lebih manusiawi)”.[5] Berdasarkan konsep ini, usaha untuk mewujudkan perdamaian tidak hanya untuk mengurangi tindak kekerasan saja, akan tetapi juga adanya ikhtiar untuk mewujudkan rasa tentram, harmoni, dan damai dalam realita kehidupan sosial.

Di samping dari dorongan intrinsik dalam diri manusia, nilai-nilai perdamaian juga dapat ditemukan dan diinspirasi dalam pandangan-pandangan keagamaan dan kebijaksanaan masyarakat (local wisdom). Islam, misalnya, adalah agama perdamaian. Banyak alasan untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Setidaknya ada tiga alasan, yakni: pertama, Islam itu sendiri berarti kepatuhan diri (submission) kepada Tuhan dan perdamaian (peace). Kedua, salah satu dari nama Tuhan dalam al-asma` al-husna adalah Yang Mahadamai (al-salam). Ketiga, perdamaian dan kasih-sayang merupakan keteladanan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut, Zuhairi Misrawi menambahkan bahwa perdamaian merupakan jantung dan denyut nadi dari agama. Menolak perdamaian merupakan sikap yang bisa dikategorikan sebagai menolak esensi agama dan kemanusiaan.[6]

Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu, Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau kekerasan di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonisan dan dan kedamaian. Di antara bukti konkrit dari perhatian Islam terhadap perdamaian adalah dengan dirumuskannya Piagam Madinah (al-sahifah al-madinah), perjanjian Hudaibiyah, dan pakta perjanjian yang lain.

Berangkat dari paparan di atas, makalah ini akan membahas mengenai nilai-nilai perdamaian yang dibawa oleh Islam, baik dari sisi normatif maupun dari sisi historis atau tradisi. Nilai-nilai yang diharapkan dapat menjadi bagian dari etika global (global ethics), terutama dalam usaha mewujudkan perdamaian dunia. Di sisi lain, pesan perdamaian Islam ini juga menjadi jawaban atas stigma negatif yang ditujukan kepada Islam sebagai agama pembawa pesan teror dan kekerasan, terutama pasca tragedi 11 September 2001.

II.     Etika Islam: Pengantar Menuju Etika Global

Islam, pada awalnya berupa teks atau wahyu Tuhan, turun ke dalam realitas kehidupan umat manusia untuk menuntun mereka menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai, aturan, dan tata etika yang telah digariskan Tuhan. Tata etika menjadi hal yang fundamental dalam menjalankan segala aktifitas manusia. Menurut Haidar Bagir, etika, bersama politik dan ekonomi, dalam khazanah pemikiran Islam biasa dimasukkan dalam apa yang disebut sebagai filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyah). Filsafat praktis itu sendiri berbicara tentang tentang segala sesuatu “sebagaimana seharusnya”. Meskipun demikian, etika mesti didasarkan pada filsafat teoritis (al-hikmah al-nazariyah), yakni pembahasan tentang segala sesuatu “sebagaimana adanya”.[7]

Etika terkadang diidentikkan dengan moral (atau moralitas) dalam hal-hal yang terkait dengan baik-buruk perilaku manusia. Namun, keduanya memiliki perbedaan pengertian. Menurut Franz Magnis-Suseno, etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan padangan-pandangan moral. Etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Jadi, dapat dikatakan bahwa etika bisa disebut juga sebagai Filsafat Moral. Yakni etika berfungsi sebagai teori atau nalar filosofis dari perilaku baik dan buruk (‘ilm al-akhlaq), dan moral (akhlaq) adalah praktiknya. Oleh karena itu, persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat dipertanyakan kembali secara kritis dan mendalam.[8]

Dalam tradisi filsafat etika, terutama yang berkembang di Barat, banyak muncul beragam pandangan mengenai etika yang berkembang di belahan dunia ini. Namun, menurut Haidar Bagir secara umum pandangan-pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga: etika hedonistik, utilitarian, dan deontologis. Hedonisme mengarahkan etika kepada keperluan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya kesenangan bagi manusia. Etika utilitaristik mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan atau kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu etika yang baik adalah kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang, dan bukan kesenangan atau kebahagiaan individual- yang di sisi lain, mungkin justru menimpakan kesengsaraan bagi jauh lebih banyak orang. Sementara etika deontologis (berasal dari kata deon yang berarti kewajiban) memandang bahwa sumber bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban. Sejalan dengan itu, aliran ini mempercayai bahwa sikap etis bersifat fitri dan, pada saat yang sama, tidak (murni) rasional.[9]

Di samping itu, menurut Komaruddin Hidayat, etika sebagai cabang pemikiran filsafat bisa dibedakan menjadi dua: objektivisme dan subjektivisme. Objektivisme berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang disebut dengan paham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan dikatakan baik bukan karena kita senang melakukannya atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Sedangkan subjektivisme berpandangan bahwa  suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek di sini bisa saja berupa subjektivisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subjek Tuhan.[10]

Lebih lanjut, Haidar Bagir menyatakan bahwa etika dalam filsafat Islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, Islam berpihak pada teori tentang etika yang bersifat fitri. Artinya, semua manusia pada hakikatnya, baik itu Muslim ataupun bukan, memiliki pengetahuan fitri tentang baik dan buruk. Kedua, moralitas dalam Islam didasarkan kepada keadilan, yakni menempatkan segala sesuatu pada porsinya. Tanpa merelatifkan etika itu sendiri, nilai suatu perbuatan diyakini bersifat relatif terhadap konteks dan tujuan perbuatan itu sendiri. Ketiga, tindakan etis itu sekaligus dipercayai pada puncaknya akan menghasilkan kebahagiaan bagi pelakunya. Keempat, tindakan etis itu bersifat rasional.[11]

Sementara itu, menurut Abdul Fattah Abdullah Barakah, sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Hanafi dkk, menyatakan bahwa penentuan baik dan buruk di dalam Islam berdasarkan etika subjektif dan etika objektif sekaligus. Artinya, penentuan baik dan buruk didasarkan pada wahyu Tuhan (al-Qur’an dan al-Sunnah) dan, pada waktu yang sama, akal budi manusia pun memiliki kapasitas untuk mengetahui baik-buruk serta membedakannya. Zina, misalnya, adalah perbuatan buruk, karena Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa zina itu perbuatan keji (al-Isra`/17: 32). Namun, pada waktu yang sama, baik sesudah maupun sebelum al-Qur’an diturunkan, akal budi manusia pun mengakui bahwa zina adalah perbuatan keji.[12] Dengan demikian, etika Islam pada hakikatnya bersifat teoantroposentris. Harmonisasi nilai-nilai etis yang bersumber dari wahyu Tuhan sebagai titik tolak bergerak (keimanan) dengan nilai-nilai yang berasal dari akal budi manusia yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dan kebahagiaan untuk semua makhluk hidup.

Setelah memahami secara garis besar etika Islam, maka sepatutnya menjadikan etika Islam sebagai prinsip universal dalam kehidupan sosial yang beragam sebagaimana Tuhan mengisyaratkan hal ini.[13] Dengan menempatkan etika sebagai prinsip universal, maka secara perlahan-lahan akan ditemukan titik temu atau kalimatun sawa` dari agama-agama, yang merupakan etika universal yang secara esensial mengajarkan kebaikan, kasih sayang, kejujuran, keadilan, kedamaian, serta pembebasan terhadap diskriminasi dan kezaliman. Perbedaan agama sekarang bukan lagi menjadi penghalang bagi seseorang untuk mempraktekkan nilai-nilai tersebut.[14]

Dengan demikian, apapun nama agamanya, semua menyatakan bahwa perdamaian dan kasih-sayang merupakan bagian dari etika universal. Etika yang tetap perlu dipraktekkan dalam kehidupan sosial guna mencapai tatanan kehidupan yang lebih baik dan tujuan-tujuan dalam beragama menjadi manusiawi dan realistis.

 III.     Islam dan Perdamaian Global

Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga sikap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam, yang didasarkan pada nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.[15]

Diskursus mengenai agama, terutama dalam tatanan globalisasi, memang akan terus menarik untuk didiskusikan. Beberapa orang berpendapat bahwa peran dan fungsi agama di dunia modern akan mengalami krisis. Dengan hal ini, maka tantangan-tantangan modernitas bagi agama akan menjadi sangat kompleks. Agama-agama dituntut untuk memodernisasikan dirinya dengan tetap menjaga nilai-nilai transendental-universal yang dibawanya. Agama-agama dalam posisi ini masih tetap dibutuhkan oleh umatnya sebagai tempat kontemplasi dalam menghadapi problematika sosial yang terjadi disekelilingnya.[16]

Ujian terberat bagi agama-agama sekarang ini, salah satunya, adalah mewujudkan perdamaian dunia, karena masih banyaknya peristiwa-peristiwa konflik, kekerasan dan intimidasi yang melanda dunia global. Lihat saja konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel, konflik di berbagai negara di benua afrika, isu-isu terorisme, dan masih banyak yang lainnya. Deretan permasalahan global yang ada itu harus dijawab oleh agama-agama dunia sebagai upaya menjadikan umat manusia lebih humanis dan dialektis dalam menghadapi persoalan global.

Oleh karena itu, Paus Yohanes pada Konsili Vatikan II pernah menggagas adanya dialog perdamaian dalam skala yang lebih luas. Dialog yang menentukan arah terwujudnya dialog antar agama-agama dunia. Kemudian usaha dialog antar agama ini dilanjutkan oleh Cardinal Montini (Paus Paulus VI) pada masanya dan tercetuslah kelima teks penting yang terdiri: Light of The Nations, In Our Time, On Divine Revelation, Joy and Hope to The Nations dan Dignity of The Human Person. Sebagian teks-teks itu berisi tentang hubungan Kristen dengan agama lain, khususnya Islam.[17]

Di samping itu, pada tahun 1893 di Chicago, Parlemen Agama-Agama Dunia tampil membawa semangat perdamaian untuk dunia. Parlemen ini lahir sebagai respon atas paradigm modernitas yang telah menjadikan agama sebagai realitas parsial. Respon tersebut lahir setelah melihat adanya krisis global yang mendunia. Mulai dari krisis ekologi, seperti pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan musibah bencana alam, hingga krisis sosial-politik, seperti kekerasan dan perang, konflik antar agama dan etnik, dan sebagainya. Baru 100 tahun sesudahnya, yakni pada 28 Agustus sampai 4 September 1993 parlemen tersebut bekerja sama dan menyusun sebuah “Deklarasi Menuju Etika Global” dengan dihadiri tidak kurang dari 6500 orang dari tiap agama.[18]

Adapun salah satu isi kandungan yang tertuang dalam naskah Deklarasi Menuju Etika Global yang berbicara mengenai perdamaian dan nirkekerasan diantaranya adalah:

“But in the great ancient religious and ethical traditions of humankind, we find the teaching: You shall not kill! Or in positive terms: Have respect for life! Concretely that means that no one has the right to torture, injure, and certainly not to kill, any other human being……”

serta:

 “…….every peoples, every race, every religion must show tolerance, respect, indeed, high appreciation for every other. Minorities –whether they are racial, ethnic or religious- need our protection and our support”.[19]

Dari sinilah, agama-agama dunia memberikan kontribusi aktif dalam usaha mengurai dan mencari jalan solusi bagi problematika dunia global. Nilai-nilai universal dari masing-masing agama dunia dijadikan konsensus bersama untuk mewujudkan etika global. Etika yang diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan dunia global, terutama untuk mewujudkan perdamaian di antara umat manusia dan umat beragama.

Pada era global semacam ini, perdamaian agama-agama di dunia mutlak diperlukan. Maka dengan adanya dialog antarumat beragama, diharapkan akan menemukan kesamaan visi untuk menatap masa depan umat beragama yang toleran, harmoni, dan damai. Menurut Abdul Qadir Shaleh, dialog global antaragama bekerja dalam tiga wilayah: pertama, wilayah praksis di mana kita berkolaborasi untuk menolong kemanusiaan. Kedua, wilayah batin atau spiritual di mana kita berupaya mengalami partner dialog dari dalam (dialogue from within). Ketiga, wilayah kognitif di mana kita mencari pemahaman dan kebenaran. Dari wilayah dialog tersebut, maka paling tidak praktek kekerasan dapat dikurangi. Karena dengan adanya kesadaran bahwa agama lain adalah suatu agama juga yang membutuhkan eksistensi secara humanis, maka proses kea rah perdamaian akan mudah tercapai.[20]

Ada serangkaian ungkapan yang sangat popular yang diungkapkan oleh Hans Kung, seorang tokoh yang berjasa dalam pertemuan Parlemen Agama-Agama Dunia itu, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Shaleh, yang menyatakan bahwa:

“No peace among the nations without peace among the religions; No peace among the religions without dialogue between the religions; No dialogue between the religions without research into theological foundations”[21]

Dengan demikian, pada tataran ontologis, agama manapun pada hakikatnya tidak mengajarkan kekerasan, dan kekerasan itu sendiri bukan bagian integral dari agama. Agama mengajarkan sikap cinta-kasih dan keharmonisan dalam hidup.  Agama memprioritaskan cara-cara damai dan kemanusiaan dalam bersikap sebagaimana diamanatkan oleh nilai-nilai universal agama itu sendiri.

Islam, misalnya, merupakan penegasian atas sikap kekerasan. Islam, di satu sisi, berarti kepatuhan/ketundukan diri (submission) kepada kehendak Tuhan dan pada sisi lain, mewujudkan perdamaian. Dengan demikian, Islam berarti menciptakan perdamaian sedangkan Muslim berarti orang yang menciptakan perdamaian melalui aksi dan perbuatannya. Begitu pula keimanan yang merupakan wujud dari sebuah keyakinan pada Tuhan yang nantinya juga akan berdampak secara sosial berupa pemberian rasa aman dan nyaman bagi orang lain. Bukankah Rasulullah SAW pernah berkata:

muslim sejati ialah muslim yang dapat memberikan keselamatan bagi orang lain dari lisan dan tangannya, dan mukmin sejati ialah mukmin yang bisa memberi rasa aman pada yang lain atas jiwa dan harta mereka”.[22]

Nilai-nilai perdamaian pada hakikatnya banyak termaktub dalam al-Qur’an dan juga secara jelas diindikasikan dalam berbagai riwayat Hadis Nabi. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negative dan represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup.[23] Al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah SAW diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (Q.S. Al-Anbiya: 10). Zuhairi Misrawi menyatakan bahwa ada dua hal utama yang perlu diketahui dari ayat tersebut. Pertama, makna rahmatan. Secara linguistik, rahmatun berarti kelembutan dan kepedulian (al-riqqah wa al-ta’aththuf). Kedua, makna lil’alamin. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw. hanya untuk orang muslim saja. Tapi ulama lain berpendapat bahwa cinta kasih Rasulullah saw untuk semua umat manusia. Hal ini mengacu pada ayat terdahulu yang menyatakan bahwa Rasulullah saw diutus untuk seluruh umat manusia (kaffatan li an-nas).[24] Sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan pula bahwa “sesungguhnya saya tidak diutus sebagai pemberi laknat, tapi saya diutus untuk member rahmat”.[25]

Lebih lanjut, Jaudat Sa’id menyatakan bahwa prinsip-prinsip nirkekerasan dan perdamaian serta hubungannya dengan ajaran Islam telah mengakar lama sejak zaman putra Adam, Qabil dan Habil. Al-Qur’an merekam kisah Qabil dan Habil sebagaimana beriktu:

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Q.S. al-Ma`idah: 27-31)

Menurut Jawdat Sa’id, kisah Qabil dan Habil itu memberi makna yang dalam. Pertama, ada aspek kepasrahan total kepada Tuhan. Kedua, ada kemampuan untuk berkorban dengan jiwa sekalipun agar orang lain menemukan jalan kebenaran. Ketiga, teladan bagaimana memutus siklus kekerasan. Habil sebagai simbol kebaikan dan kesalehan, menolak mengotori tangannya dengan darah. Sementara Qabil mewakili kekerasan, kebuasan serta ringan tangan untuk membunuh atas dalih apa saja.[26]

Di samping bersumber dari nilai-nilai Qur’ani, diskursus mengenai perdamaian juga banyak ditemukan dalam Sunnah Nabawiyah. Ada sekitar dua puluh ribu Hadis Nabi dan diantaranya Hadis yang mendukung etika anti-kekerasan atau etika perdamaian. Hadis-Hadis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji tradisi perdamaian dalam Islam. Pertama, menawarkan fakta-fakta tambahan tentang anti-kekerasan dalam budaya Islam; Kedua, mencakup penjelasan yang lebih menarik tentang berbagai tradisi Islam sebagaimana disampaikan melalui al-Qur’an.[27]

Mohammed Abu-Nimer juga menambahkan bahwa Hadis merupakan sumber yang kaya untuk nilai-nilai bina-damai dan jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari Muslim, ia hanya akan mengarah pada perdamaian dan nirkekersan.[28] Misalnya Hadis-Hadis berikut ini:

  1. pelan-pelan wahai Aisyah, karena Allah selalu menyukai kelembutan dalam segala hal” (H.R. al-Bukhari & Muslim)[29]
  2. Allah akan menunjukkan belas kasih-Nya kepada mereka yang bermurah hati. Bermurah hatilah kepada penduduk bumi, maka penguasa surga akan bermurah hati kepadamu” (H.R. al-Turmudzi)[30]
  3. Allah mencintai kelembutan, Allah memberikan keberkahan atas kelembutan, dan bukan atas kekerasan” (H.R. Muslim)[31]
  4. Dan masih banyak riwayat Hadis yang lain.

Fakta lain yang merupakan arti kunci bagi terwujudnya tradisi damai dan nirkekerasan adalah mengikuti dan mensuri-tauladani apa yang Rasulullah saw lakukan. Al-Qur’an merekomendasikan Nabi Muhammad kepada kita sebagai suri-tauladan yang baik (Q.S. Al-Ahzab: 21), dan memerintahkannya (Nabi) untuk berkata kepada umatnya: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Q.S. `Ali ‘Imran: 31. Sehingga konsekuensinya sebagaimana yang ditulis oleh Schimmel:

Dalam perang dan damai, di rumah dan di dunia (luar), dalam bidang keagamaan seperti dalam setiap bentuk pekerjaan dan tindakan/amalan, Nabi Muhammad saw merupakan contoh teladan dari kesempurnaan moral (akhlak). Apa saja yang beliau lakukan menyisakan/memberikan contoh bagi para sahabatnya.[32]

Karena hal itu tidak dapat dipisahkan dari sikap dan perilaku Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan Islam pada masanya. Nabi SAW melakukan dakwah dengan cara-cara yang damai serta penuh dengan cinta-kasih. Jadi fakta historis ini mempunyai signifikansi ganda untuk mengkaji etika perdamaian dalam tradisi Islam awal.

Berangkat dari keyakinan ini, perdamaian merupakan salah satu cirri utama agama Islam. Islam yang artinya mengandung makna salam (kedamaian/keselamatan) mengajak untuk selalu bersikap harmonis dalam berinteraksi dengan sesama. Perdamaian bukanlah semata-mata ketiadaan perang atau kekerasan. Damai yang sejati adalah damai yang termanifestasi melalui nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai keadilan sosial. Maulana Wahiduddin Khan menyatakan bahwa perdamaian secara umum adalah antithesis dari ketiadaan perang. Namun, definisi ini hanya dalam lingkup yang kecil. Perdamaian sejati adalah perdamaian yang berhubungan dengan segala urusan kehidupan manusia. perdamaian merupakan ideologi yang komplek. Ideologi yang menjadi pintu utama menuju kesuksesan dalam hidup.[33]

Namun, bagaimana dengan konsep jihad dalam Islam yang pada umumnya disalahpahami sebagai bentuk negasi dari nilai-nilai perdamaian. Kata jihad tidak berarti perang suci. Jihad berarti perjuangan (kerja keras) atau usaha. Berdasar pada sebuah Hadis Masyhur dari Nabi Muhammad saw, bahwa jihad secara tradisi dibagi ke dalam al-Jihad al-Akbar (perjuangan besar), sebuah usaha batin dalam menghadapi sifat dasar kita yang lebih rendah (nafsu); dan al-Jihad al-Ashgar (perjuangan kecil), sebuah usaha lahir dalam menghadapi ketidakadilan sosial. Perjuangan kecil ini bukanlah dalam semua hal, namun hanya beberapa. al-Jihad al-Ashgar memasukkan pula pencarian aktif akan sebuah budaya damai, maupun perlawanan terhadap penindasan. Nabi saw mengajarkan kepada kita bahwa penegakan keadilan mengharuskan adanya aktifitas yang terus menerus. Nama dari aktifitas ini adalah jihad. Pekerjaan dari anti-kekerasan merupakan akar terakhir/pangkal dari jihad.[34]

Lebih lanjut, Jaudat Sa’id memiliki pemaknaan lain dari makna jihad. Ia menegaskan bahwa ada dua bentuk jihad dalam hal ini yakni Jihad Khawarij dan Jihad Islam. Jihad Khawarij adalah jihad yang berdasarkan pada pemahaman mereka saja dan mencoba mempraktekkannya menurut kadar pemahaman mereka. Pemahaman jihad seperti ini menimbulkan sikap fundamentalisme, radikalisme, atau ekstrimisme yang identik dengan kekerasan dan paksaan. Sedangkan Jihad Islam merupakan perjuangan untuk mencegah pemaksaan dan kekerasan dalam agama atau pemikiran tertentu.

Oleh karena itu, jihad dalam konteks perang adalah wujud dari pembelaan atas tidak adanya pemaksaan dalam agama. Sehingga perang diijinkan adalah untuk memerangi mereka-mereka yang memaksakan agama untuk orang lain. Bagi Jawdat Sa’id, fitnah dalam agama, sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah: 193, adalah memaksa orang untuk memeluk agama tertentu atau menyiksa orang untuk meninggalkan agama tertentu atau bahkan hingga membunuhnya. Dengan demikian, Jihad Islam adalah berjuang dengan menggunakan segenap kekuatan untuk mencegah pemaksaan dalam agama meskipun pemaksaan itu tidak melalui perang atau kekerasan.[35]

Lebih jauh lagi, pesan-pesan perdamaian yang ada dalam Islam tidak hanya berupa nilai-nilai normatif belaka. Fakta sejarah telah membuktikan adanya usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran realita. Piagam Madinah, misalnya, merupakan contoh konkrit upaya Nabi saw mewujudkan perdamaian. Tujuan utama dari Piagam yang berjumlah 47 pasal itu, pada hakekatnya, adalah mewujudkan prinsip perdamaian serta mengembalikan keharmonisan pada masyarakat Madinah pada masa itu. Secara eksplisit, ketetapan prinsip ini juga terekam dalam beberapa pasal dalam Piagam itu. Antara lain pada pasal 17 yang menyatakan bahwa seluruh umat Islam harus bersatu dan mengambil peran yang sama bila mengadakan perdamaian dengan pihak lain. Di samping itu, pada pasal 45 juga dinyatakan bahwa agar orang-orang mukmin aktif dan gemar dalam menerima serta memprakarsai perdamaian.[36]

Akhirnya, mengutip apa yang dikatakan oleh al-Khattabi, sebagaimana dikutip oleh Wahiduddin Khan, yang berbunyi: “God is the Being from Whom all people feel safe and secure. From whom people have the experience only of peace, not of violence”, Tuhan ada dari siapa saja yang merasa selamat dan aman. Dari siapa saja yang hanya memiliki jiwa damai, bukan dari kekerasan.[37]

IV.     Penutup

Islam yang rahmatan lil’alamin merupakan perwujudan dari nilai-nilai universal yang terkandung dalam pokok ajaran Islam, yakni al-Qur’an maupun Sunnah Nabawi. Nilai yang mengedepankan keharmonisan, kedamaian, dan kemaslahatan bagi semua. Sehingga nilai-nilai itulah yang seharusnya diambil, dipahami, dan kemudian berusaha dipraktekkan oleh umat manusia pada umumnya, dan umat Islam pada khususnya.

Perdamaian harus menjadi kekuatan penuh untuk membangun peradaban manusia, terutama di era globalisasi ini. Perdamaian merupakan warisan tradisi yang sangat penting, menarik, dan patut dicontoh daripada warisan perang. Sebab dalam tradisi perdamaian yang ada adalah kebahagiaan, keharmonisan, serta kenangan yang manis dan indah antara pelbagai masyarakat dan agama-agama.[38]

 

Daftar Pustaka

 

Abdul Qadir Shaleh, Agama Kekerasan, Yogyakarta: Prismasophie, 2003

Amin Abdullah,  Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002

C.A.J. Coady, Morality and Political Violence, New York: Cambridge University Press, 2008

Eka Hendry Ar., Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan Perdamaian, Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2009

Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987

Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia, 2003

Johan Galtung, Globalizing God: Religion, Spirituality, and Peace, Kolofon Press, 2008

Komaruddin Hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern, dalam Nurcholish Madjid dkk, Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

M. Mukhsin Jamil, Gagasan Agama Sipil (Civil Religion) di Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008

Majalah IDEA, edisi 30, Maret 2011

Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology of Peace, New Delhi: Goodword Books, 2010

Mohammed Abu-Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010

Muchlis M. Hanafi dkk, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik: Tafsir al-Qur’an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009

Nagendra Kr. Singh, Etika Kekerasan dalam Tradisi Islam, terj. Ali Afandi, Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003

Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010

Zuly Qodir, Etika Islam: Suatu Pengantar, dalam Elga Sarapung dkk, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Rabia Terri Harris, Nonviolence in Islam: The Alternative Community Tradition, dalam Abdul Aziz Said (.ed), Peace and Coflict Resolution: Precept and Practice, New York: University Press of America

Budhy Munawar-Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, Jakarta: LSAF, 2010

 


[1] Eka Hendry Ar., Sosiologi Konflik: Telaah Teoritis Seputar Konflik dan Perdamaian, Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2009, h. 151

[2]  Maulana Wahiduddin Khan, The Ideology of Peace, New Delhi: Goodword Books, 2010, h. 12

[3]  Johan Galtung, sebagaimana dikutip oleh C.A.J. Coady, menyatakan bahwa jenis kekerasan (violence) tidak hanya berupa fisik saja, melainkan juga ada kekerasan yang bersifat psikis, semisal cuci otak, indoktrinasi, dan teror atau ancaman. C.A.J. Coady, Morality and Political Violence, New York: Cambridge University Press, 2008, h. 25

[4]  Johan Galtung, Globalizing God: Religion, Spirituality, and Peace, Kolofon Press, 2008, h. 16

[5]  Majalah IDEA, edisi 30, Maret 2011, h. 29

[6] Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan lil’Alamin, Jakarta: Pustaka Oasis, 2010, h. 329

[7] Dalam pengantar buku  karya Dr. Amin Abdullah,  Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002, 15

[8] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 14

Lebih lanjut, Romo Magnis menambahkan bahwa etika dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta: PT. Gramedia, 2003, h. 6.

[9]  Dalam Amin Abdullah, Op.cit, h. 16

[10] Komaruddin Hidayat, Etika dalam Kitab Suci dan Relevansinya dalam Kehidupan Modern, dalam Nurcholish Madjid dkk, Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 310

[11]  Dalam Amin Abdullah, Op.cit, h. 18-20

[12] Muchlis M. Hanafi dkk, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik: Tafsir al-Qur’an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2009, h. 14-15

[13] Al-Qur’an menyatakan: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal” (Q.S. al-Hujurat: 13)

[14]  Zuly Qodir, Etika Islam: Suatu Pengantar, dalam Elga Sarapung dkk, Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 278-279

[15]  M. Mukhsin Jamil, Gagasan Agama Sipil (Civil Religion) di Indonesia, Minggu, 24 Februari 2008, h. 5

[16]  Abdul Qadir Shaleh, Agama Kekerasan, Yogyakarta: Prismasophie, 2003, h. 133

[17]  Majalah IDEA, edisi 30, Maret 2011, h. 28

[18] Abdul Qadir Shaleh, Op.cit, h. 133-134

[19]  Diambil dari lampiran kedua karya Abdul Qadir Shaleh, Ibid, h. 158-159

[20]  Ibid, h. 135-136

[21]  Ibid, h. 136

[22]  Bunyi Hadis itu adalah:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ « الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ » (أخرجه الترمذي والنسائي وابن ماجه وأحمد)

[23] Budhy Munawar-Rahman, Reorientasi Pembaruan Islam: Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, Jakarta: LSAF, 2010, h. 481

[24] Menurut Imam al-Razi, sebagaimana dikutip oleh Zuhairi Misrawi, bahwa kasih sayang Nabi Muhammad saw tidak hanya bagi orang muslim dan non-muslim, melainkan juga untuk agama dan dunia. Zuhairi Misrawi, Op.cit, h. 215-216

[25] Bunyi Hadisnya adalah:

عن أبي هريرة قال: قيل يا رسول الله ادع على المشركين قال إني لم أبعث لعانا وإنما بعثت رحمة

[26] Jaudat Sa’id, Mazhab Ibn Adam al-Awal: Musykilat al-‘Unf fi al-‘Amal al-Islamy, Beirut: Dar al-Fikr, 1993, h. 23

[27] Nagendra Kr. Singh, Etika Kekerasan dalam Tradisi Islam, terj. Ali Afandi, Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003, h. 39

[28] Mohammed Abu-Nimer, Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktik, terj. M. Irsyad Rhafsadi dan Khairil Azhar, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2010, h. 46-47

[29]  قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَهْلاً يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِى الأَمْرِ كُلِّهِ »

[30]عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِى الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ

[31] أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَيْهِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ ».

[32] Dikutip dari Rabia Terri Harris, Nonviolence in Islam: The Alternative Community Tradition, dalam Abdul Aziz Said (.ed), Peace and Coflict Resolution: Precept and Practice, New York: University Press of America, h. 229

[33] Maulana Wahiduddin Khan, Op.cit, h. 20

[34]  Rabia Terri Harris, Op.cit, h. 228

[35] Jaudat Sa’id, Op.cit, h. 13-14

[36] Lihat: Ibnu Hisyam, Muhammad Abi Muhammad Abd. Malik, al-Sirat al-Nabawiyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1926 dan Ahmad, Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad saw, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

[37] Maulana Wahiduddin Khan, Op.cit, h. 98

[38]  Zuhairi Misrawi, Op.cit, h. 334

Tinggalkan komentar