Keragaman Tafsir

Tirani dalam Keragaman Tafsir

Oleh: M. Abdullah Badri

Keragaman tafsir yang ada dalam Islam jika tidak di sikapi dengan bijak dan arif sudah pasti akan menimbulkan gesekan sosial. Demikian karena Islam tidak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keragaman interpretasi para ulama’. Bahkan, ruh Islam berada pada semangat mencari kebenaran yang terartikulasi dalam kekayaan interpretasi. Itu bisa ditunjukkan dengan dilahirkannya beberapa karya literatur sarjana muslim dalam berbagai bidang.

Kita bisa melihat, ketika membicarakan al-Qur’an, Islam kaya dengan ragam tafsir dari kaum cerdas cendekianya, sesuai sudut pandang dan latar belakang pendidikan dan kondisi sosial-politik masing-masing.

Ada yang mengkaji al-Qur’an dari sudut pandang sastra, seperti Tafsirnya al-Zamakhsary, seorang ulama’ Mu’tazilah. Ada pula yang membidik Sains al-Qur’an, seperti yang ditulis Thantawi Jauhari dan Harun Yahya. Karya tafsir yang paling banyak adalah yang mengkaji dari sudut panjang sosial, seperti karya mufassir reformis-kontemporer semisal Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan di Indonesia ada Hamka dan Quraish Syihab.

Dari disiplin ilmu yurispundensi Islam, atau yang biasa disebut Ilmu Fiqih, kita akan disuguhkan khazanah Islam yang lebih kaya lagi. Bahkan saking kayanya akan interpretasi dalam bidang ini, ada sebuah adagium terkenal dikalangan Ulama’ Ahli Fiqh (Fuqaha’), salah satunya yang terkenal adalah La Fiqha Illa fihi ikhtilaf (Tidak dikatakan fiqh jika tidak ada perselisihan). Seakan menandakan bahwa rumus ilmu fiqh adalah perselisihan.

Dikatakan pula bahwa konsistensi fiqh ada pada inkonsistensinya. Sebab ia selalu up to date, disesuaikan dengan latar zaman dan lingkungan. Dulu, pada zaman kolonial, memakai celana dan jas berdasi mendapat fatwa haram dari para ulama’ karena menyerupai orang-orang Kristen Kolonial-Belanda yang menindas rakyat. Namun larangan itu kini tidak berlaku lagi.

Alasan fatwa haram itu sudah hilang semenjak kaum penjajah terusir dari Indonesia. Fatwa haram dikeluarkan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia demi mengusir Belanda.

Islam tidak mengatur secara khusus dalam berbusana. Hanya memberi batasan umum bahwa yang diperlukan dalam berbusana adalah menutup aurat. Adapun model dan jenisnya ditentukan sesuai adat sekitar yang berlaku. Disinilah, keragaman tafsir dari ketentuan-ketentuan umum dalam Islam menjadi hal yang tak terelakkan.

Menghargai Perbedaan

Islam sangat menghargai perbedaan. Setiap orang berhak memiliki penafsiran tentang Islam sesuai dengan latar belakang masing-masing. Tidak ada yang berhak menghegemoni satu pemahaman tertentu. Kekuasaan tunggal dalam penafsiran hanya akan melahirkan tirani-tirani. Sehingga, pengelolaan akan perbedaan menjadi penting agar tidak terjadi hegemoni tafsir. Pengelolaan Islam akan perbedaan itu bisa kita saksikan dalam jargon Ikhtilaful Aimmah Rahmah (Perselisihan Para Imam adalah Rahmat).

Mengenai tafsir atau interpretasi, dalam triodik Hermenutika Nasr Hamid Abu Zaid yang terdiri atas Tujuan, Teks dan Tafsir, menjelaskan bahwa eksistensi teks berdiri secara penuh, tidak ada intervensi dari pengarang maupun penafsir. Karena, tujuan dari pengarang bisa jadi berbeda dengan interpretasi penafsir. Artinya, kepentingan teks disini bukan semata-mata ditentukan oleh pengarang, namun juga penafsir. Tentu, sesuai dengan kepentingan dan latar belakang pengalaman dan pemahaman dari penafsir, bukan dari pengarang.

Dengan leluasa penafsir menginterpretasi teks yang ada dihadapannya, kendati jauh dari yang dimaksudkan pengarang. Disinilah kepentingan penafsiran dapat dibaca. Lepasnya pengarang dari teks yang telah ditulis pada akhirnya mengakibatkan keragaman pemahaman yang tidak bisa dihindari dari banyak penafsir. Tidak yang dapat kita lakukan disini kecuali mengahargai, demi menghindari konflik.

Tirani Tafsir

Ahmadiyah, Lia Eden dan al-Qiyadah, begitu juga dengan komunitas lain yang berbeda pemahaman dengan kelompok mayoritas, berusaha menafsirkan teks utama Islam demi mencari kebenaran. Namun usaha mereka ketika mencapai kesimpulan yang berbeda, terjadi tirani. Atribut sesat, kafir dan murtad dilekatkan kepada mereka.

Pertanyaannya adalah, apakah penafsiran Ahmadiyah, Lia Eden, Al-Qiyadah dkk. merupakan kepentingan atau sekedar mencari kebenaran dari ketidakpuasan mereka terhadap agama konvensional yang selama ini mereka ikuti? Sulit membedakan. Sangat tipis perbedaannya, antara kepentingan dan pemahaman. Tidak bisa diposisikan diametral. Dan memang tidak perlu.

Yang perlu kita lakukan adalah mencoba menghargai dan memahami mereka. Toh mereka juga sama-sama dalam rangka mencari kebenaran, meskipun dibalut kepentingan “luar”. Mempermasalahkan mereka hanya akan membuang energi. Biarkan saja. Waktu yang akan menentukan. Diterima masyarakat atau tidak.

Selama tidak bertendensi politik untuk merenggut keutuhan NKRI tidak ada alasan untuk merepresi mereka. Karena penafsiran teologis itu sangat privatif, pribadi. Tidak ada hak bagi siapapun untuk merenggut hak mereka, termasuk negara.

Sebaliknya, yang perlu diwaspadai adalah kelompok radikal yang cenderung mengancam keutuhan NKRI dengan melakukan kekerasan, baik fisik maupun simbolik, kepada golongan yang berbeda paham dengan mengatasnamakan Tuhan.

Hanya golongan seperti HTI, MMI, FPI dkk. yang menginginkan tafsir seragam. Mereka itulah yang akan membangun tirani dalam demokratisasi kehidupan berbangsa. Merekalah yang tidak mampu memahami dengan bijak keragaman tafsir dalam Islam, sehingga sering menimbulkan kekacauan sosial yang justru memperburuk citra Islam sendiri.

Satu Tanggapan

  1. Ya, memang benar, kita harus melawan tindakan sepihak yang ingin menyeragamakan penafsiran. Sebab, itu akan menhapus dinamisasi Islam. dan akan melahirkan tirani-tirani. Islam kaya akan penafsiran, namun bukan berarti akan menghilangkan sakralitasnya. Justru itu akan membuat Islam semakin tangguh menghadapi zaman. Tindakan penyeragaman meruapakan prototipe dari kaum kolonial, yang ingin mempertahankan status quo. Betul tidak?.

Tinggalkan Balasan ke Sahal Batalkan balasan